Peradaban Manusia
" Ada satu cerita yang tidak akan pernah berujung. Cerita,......selamanya tentang manusia, kehidupannnya bukan kematiannnya". ujarku tiba-tiba.
" Inilah yang terjadi di bumi manusia, ini yang mungkin namanya adaptasi . Di bumi manusia emas sudah tak bisa mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Itulah yang terjadi di salah satu belahan negeriku ini. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di negeri ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun sebelumnya." tambahku.
Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.
"Ada apa dengan negerimu? ". tanyanya dengan sangat bergejolak.
"Negeriku terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakan selama berabad-abad. Ingatan kolektif penduduknya bisa saja lenyap, tetapi zaman di bumi manusia ini tidak akan pernah lupa bahwa pada waktu itu ratusan bahkan ribuan orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak muda yg ganteng dan manis-manis yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk dapat mencium bau segar karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana. Hukum buat mereka hanyalah angin yang dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok."
" Namun adil tidak adil pun zaman ini, semua ini tak tertahankan. Dia selalu menjalankan hukumnya sendiri. Semua jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya akan membalas penindasan yg telah dibuat olehnya, mungkin dengan membangun pagar yang lebih dahsyat dari tembok Berlin agar dia terisolasi dari sinar matahari". tambahku dengan ketegaran menghadapi semua ini.
Ini yang dinamakan dengan adaptasi. Jika kita tak bisa mengubah keadaan, kita menyesuaikan diri dengannya. Kita terkadang marah kepada petinggi-petinggi disana karena kita berasumsi baik, yaitu bahwa birokrasi terdiri dari manusia-manusia berkal sehat, manusia rasional. Tapi itu lebih harapan ketimbang kenyataan. Tentu ada birokrat berakal sehat, tapi itu bagian dari sistem. Jangan pikir kita tinggal di peradaban. Kita tinggal di alam. Di bumi tepatnya. Kita bukan manusia yang kita bayangkan. Kita adalah spesies-spesies yang berbeda. Selalu ada yang membedakan diantara kita.
"Lalu bagaimana dengan berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa?" tanyanya ingin tahu sambil menunjukkkan wajah keprihatinannya.
"Aku, kamu dan yah kita manusia sudah seakan tidak berharga. Seakan tak lebih bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin dibayangkan, tak pernah terlintas dibenak sedikit pun. Penduduk membaca berita-berita ini seperti sebagai sebuah rutinitas di pagi hari sambil meminum kopi”. Aku menjawab dengan perasaan jijik kepada semua yang terjadi di negeriku ini, di tempat dimana aku sangat menyalahkan sistem yang berlaku.
Kepekaan menjadi tumpul. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan. Negeri ini sudah tidak mengenal sebidang lahan untuk bergerak lebih nyaman. Apakah semua menginginkan kematian dini karena kekurangan vitamin D?
“ Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar, moral dan nilai-nilai sudah tidak ada lagi. Kemana semua itu?.” aku bertanya dalam hati.
Yang jelas komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas angin terhadap mereka menjadi lengkap. Jawaban ini sedikit melegakan kegundahanku akan segelintir penghuni negeriku ini.
Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di negeri ini menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.
“Kepekaan penduduk kota semakin majal. Itu sudah nyata di depan mata.” Aku menyesali semua ini, tapi aku tak bias berbuat banyak.
“ Lihatlah burung-burung yang sedang bertengger diatas tiang sana yang terbuat dari besi dan plastik yang lentur dan antikarat, dimana mereka berkicau semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Suatu ketika burung-burung yang terbang serempak itu akan membuat negeri ini menjadi kegelapan karena bayang-bayang sayap mereka. Hati burung-burung itu akan teriris dengan ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka. Di negeri bawah. Burung-burung itu menyampaikan bahwa negeri ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya yang paling bengis tidak dihentikan, penguasa negeri ini tak peduli dengan tanda-tanda alam.” ia berkata seolah-olah menjawab semua yang kuperdebatkan di dalam hati.
Keesokannya sekawanan burung itu akan mengepak-ngepak berbarengan di atas negeri ini. Jeritan mereka menyebarkan ngeri yang luar biasa, memekakkan telinga penduduknya.
Burung yang paling tua berkicau dengan penuh keraguan “ Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang akan kita lakukan ini bisa dimaafkan sejarah?”. Ia benci akan perlakuan penguasa negeri ini terhadap bumi yang juga ditumpanginya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.
“ Kita harus mematuk kepala-kepala manusia di bawah sana.” sambut suara ditengah kerumunan dengan garangnya.
"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa. Membuat manusia yang tersisihkan di negeri ini akan terserang kolera dan semakin sengsara."
"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."
"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."
Seekor dari seratus burung itu, sambil tegak di atas cakarnya yang kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.
Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap! Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.
Beberapa detik kemudian sekumpulan burung itu sudah tidak ada lagi di negeri yang membutuhkan system baru dan penguasa-penguasa yang bijak tersebut. Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Burung-burung itu meninggalkan harapan bahwa negeri ini akan kembali bersinar sesuai peradabannya. Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana.
" Inilah yang terjadi di bumi manusia, ini yang mungkin namanya adaptasi . Di bumi manusia emas sudah tak bisa mempertahankan kemuliaannya di atas besi atau timah. Itulah yang terjadi di salah satu belahan negeriku ini. Anak-anak saja sudah bermain-main dengan lempengan-lempengan emas yang mereka ciptakan dari adonan kimia. Kesemarakan dan lambang kekuasaan sudah berubah makna, paling tidak di negeri ini. Yang disanjung orang sekarang adalah gizogasarm, senyawa kimia hasil ekstraksi dari inti api, yang dijadikan bahan mentah untuk memproduksi chip yang bisa menampung data jutaan kali lipat dan dengan kecepatan tak terperikan dibandingkan seribu tahun sebelumnya." tambahku.
Di mulut burung-burung, yang sudah berkicau sejak jutaan tahun yang silam, kata-kata menemukan melodi yang membuai menghanyutkan. Burung-burung berkata-kata dengan ritme yang jauh lebih menawan dibandingkan dengan gelombang percakapan manusia zaman sekarang. Hilanglah sudah kata-kata dari perbendaharaan verbal. Dan bunyi yang tertinggal dalam komunikasi manusia hanyalah ketukan di atas keyboard.
"Ada apa dengan negerimu? ". tanyanya dengan sangat bergejolak.
"Negeriku terkurung dalam kutukan karena kejahatan kemanusiaan yang didewakan selama berabad-abad. Ingatan kolektif penduduknya bisa saja lenyap, tetapi zaman di bumi manusia ini tidak akan pernah lupa bahwa pada waktu itu ratusan bahkan ribuan orang dibunuh seperti tikus comberan. Anak muda yg ganteng dan manis-manis yang bercita-cita sangat sederhana, hanya sekedar untuk dapat mencium bau segar karena tak tahan mencium bau amis para penguasa yang durjana. Hukum buat mereka hanyalah angin yang dengan gampang bisa ditepis. Orang yang seharusnya bertanggung jawab dengan lihai menghindar dari hukuman sambil meluncur-luncur di atas kursi roda. Ngelencer kesana-kemari. Aman-aman saja dengan berpura-pura kena encok."
" Namun adil tidak adil pun zaman ini, semua ini tak tertahankan. Dia selalu menjalankan hukumnya sendiri. Semua jadi terpencil dari alam sekitarnya. Daerah sekelilingnya akan membalas penindasan yg telah dibuat olehnya, mungkin dengan membangun pagar yang lebih dahsyat dari tembok Berlin agar dia terisolasi dari sinar matahari". tambahku dengan ketegaran menghadapi semua ini.
Ini yang dinamakan dengan adaptasi. Jika kita tak bisa mengubah keadaan, kita menyesuaikan diri dengannya. Kita terkadang marah kepada petinggi-petinggi disana karena kita berasumsi baik, yaitu bahwa birokrasi terdiri dari manusia-manusia berkal sehat, manusia rasional. Tapi itu lebih harapan ketimbang kenyataan. Tentu ada birokrat berakal sehat, tapi itu bagian dari sistem. Jangan pikir kita tinggal di peradaban. Kita tinggal di alam. Di bumi tepatnya. Kita bukan manusia yang kita bayangkan. Kita adalah spesies-spesies yang berbeda. Selalu ada yang membedakan diantara kita.
"Lalu bagaimana dengan berita-berita pembunuhan yang saban hari muncul di media massa dalam seribu tahun belakangan ini menunjukkan betapa murahnya harga nyawa?" tanyanya ingin tahu sambil menunjukkkan wajah keprihatinannya.
"Aku, kamu dan yah kita manusia sudah seakan tidak berharga. Seakan tak lebih bernilai dari lalat atau belatung. Teknik-teknik pembantaian lebih keji dari yang mungkin dibayangkan, tak pernah terlintas dibenak sedikit pun. Penduduk membaca berita-berita ini seperti sebagai sebuah rutinitas di pagi hari sambil meminum kopi”. Aku menjawab dengan perasaan jijik kepada semua yang terjadi di negeriku ini, di tempat dimana aku sangat menyalahkan sistem yang berlaku.
Kepekaan menjadi tumpul. Emosi mereka tumpat. Hati mereka lebih tersentuh oleh teka-teki silang. Membuat kemanusiaan berada di titik paling rendah. Kaum budayawan berdiam diri, sementara kaum politisi dan negarawan bermain-main mencari keuntungan dari situasi ini. Seribu tahun dalam pemujaan, maka pragmatisme menemukan dampaknya yang paling mencengangkan. Negeri ini sudah tidak mengenal sebidang lahan untuk bergerak lebih nyaman. Apakah semua menginginkan kematian dini karena kekurangan vitamin D?
“ Kemanusiaan sama dan sebangun dengan nol besar, moral dan nilai-nilai sudah tidak ada lagi. Kemana semua itu?.” aku bertanya dalam hati.
Yang jelas komunitas-komunitas tadi, yang mencoba melawan arus zaman dengan membangun kelompok kehidupan sendiri yang didirikan di atas kebersamaan dan menentukan sendiri apa yang memang benar-benar mereka butuhkan, menemukan diri mereka tersisih, miskin. Kalau sudah tiba saat harus berhadapan dengan ajal, maka mereka diperlakukan tidak lebih dari sampah. Penaklukan orang-orang di atas angin terhadap mereka menjadi lengkap. Jawaban ini sedikit melegakan kegundahanku akan segelintir penghuni negeriku ini.
Sebenarnya, para penguasa tidak menemukan kesulitan untuk menyewa ahli dari luar untuk melenyapkan mayat-mayat kaum tersisih di negeri ini menjadi setumpuk abu. Tetapi, masalahnya mereka memerlukan simbol kemenangan atas kaum tersisih. Mereka tak mau kehilangan kepuasan dengan menelan tablet-tablet kalsium yang dibuat dari tulang-belulang orang yang mereka kalahkan. Mereka hendak mempertahankan simbol kejayaan itu. Jadi, mereka membiarkan belatung yang mengerubuti mayat-mayat kaum tersisih. Tanpa menghiraukan protes penduduk.
“Kepekaan penduduk kota semakin majal. Itu sudah nyata di depan mata.” Aku menyesali semua ini, tapi aku tak bias berbuat banyak.
“ Lihatlah burung-burung yang sedang bertengger diatas tiang sana yang terbuat dari besi dan plastik yang lentur dan antikarat, dimana mereka berkicau semakin sarat dengan melodi bertambah memilin gita perasaan binatang itu. Suatu ketika burung-burung yang terbang serempak itu akan membuat negeri ini menjadi kegelapan karena bayang-bayang sayap mereka. Hati burung-burung itu akan teriris dengan ketidakadilan yang sedang berlangsung di bawah cakar mereka. Di negeri bawah. Burung-burung itu menyampaikan bahwa negeri ini akan binasa kalau pemusnahan terhadap sesama manusia dalam bentuknya yang paling bengis tidak dihentikan, penguasa negeri ini tak peduli dengan tanda-tanda alam.” ia berkata seolah-olah menjawab semua yang kuperdebatkan di dalam hati.
Keesokannya sekawanan burung itu akan mengepak-ngepak berbarengan di atas negeri ini. Jeritan mereka menyebarkan ngeri yang luar biasa, memekakkan telinga penduduknya.
Burung yang paling tua berkicau dengan penuh keraguan “ Katakanlah dengan semangat kesetiakawanan, apakah yang akan kita lakukan ini bisa dimaafkan sejarah?”. Ia benci akan perlakuan penguasa negeri ini terhadap bumi yang juga ditumpanginya. Suaranya berat dan parau. Menggugah tapi liris.
“ Kita harus mematuk kepala-kepala manusia di bawah sana.” sambut suara ditengah kerumunan dengan garangnya.
"Tapi itu hanya akan memperburuk keadaan. Membuat busuk dan meracuni angkasa. Membuat manusia yang tersisihkan di negeri ini akan terserang kolera dan semakin sengsara."
"Kolera sudah lama dikalahkan manusia."
"Ya, sama seperti TBC atau cacar atau malaria, kolera bisa menyebar kembali di kalangan penduduk. Apalagi pembiaknya adalah mayat manusia."
Seekor dari seratus burung itu, sambil tegak di atas cakarnya yang kokoh, dengan sayap setengah terentang, mengalunkan suara: "Kita telah dibawa ke kota yang sedang tenggelam dan terkurung ini untuk dijadikan perangkat pemisah antara manusia yang beruntung dan yang tersisihkan. Apakah kita tak boleh mempergunakan hak kita untuk tak terlibat dalam kejahatan kemanusiaan ini? Kuat suara hatiku bahwa kita berhak untuk terbang kembali ke tanah air kita. Jangan terbetik rasa khawatir barang seujung rambut pun bahwa kita akan tersesat dalam penerbangan pulang." Matanya yang bening tajam menaksir-naksir sikap burung yang lain.
Burung yang kelihatan paling berwibawa itu lantas membujuk: "Aku tahu arus angin mana yang harus kita ikuti untuk sampai ke pohon-pohon yang murni hijaunya, dari mana kita telah dirampas, diperjualbelikan. Kembangkan sayap! Terjang dan ikuti angin buritan ini," katanya membujuk.
Beberapa detik kemudian sekumpulan burung itu sudah tidak ada lagi di negeri yang membutuhkan system baru dan penguasa-penguasa yang bijak tersebut. Kawanan burung itu lenyap ke arah Utara. Burung-burung itu meninggalkan harapan bahwa negeri ini akan kembali bersinar sesuai peradabannya. Beginilah aksioma zaman sekarang: kebajikan justru membawa bencana.
Kembalikan kedamaian negeriku!