Strategi IPTEK SDM Harus Masuk ke Sektor Riil
Keinginan untuk menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar pembangunan ekonomi, terjebak pada berbagai kepentingan jangka pendek yang dianggap mendesak. Sektor pendidikan, pertahanan dan keamanan (hankam), kesehatan, dan infrastruktur menyerap hampir seluruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan 20 persen APBN untuk pendidikan. Sektor hankam sangat strategis bagi kedaulatan RI. Kesehatan menyangkut kehidupan dan kebutuhan dasar masyarakat luas, sedangkan sector infrastruktur jadi tanggung jawab pemerintah karena menentukan perekonomian.
Iptek bahkan dikait-kaitkan dengan kontribusinya dalam mengatasi konflik dan mempertahankan negara kesatuan. Padahal kontribusi Iptek kepada masyarakat bersifat jangka panjang sehingga pada tahap awal harus ditopang oleh pembiayaan negara. Komitmen itu tidak ada dalam pemerintahan saat ini. Sebenarnya strategi besar kebijakan nasional dalam bidang Iptek tidak harus dirumuskan secara formal. Akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan budaya Iptek atau keilmuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan, swasta, dan masyarakat luas.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus selalu memberi manfaat ekonomi. Sejumlah negara yang berhasil dalam pengembangan Ipteknya justru memulai dengan investasi besar-besaran dalam bidang iptek, misalnya adalah Negara Thailand yang menuai reputasinya saat ini sebagai negara yang maju teknologi pangannya setelah memulai investasi di bidang itu sejak 20 tahun lalu. Contoh lain adalah Pakistan berhasil mengundang kembali ilmuwan-ilmuwannya setelah ada janji bahwa mereka akan memperoleh gaji empat kali lipat dari yang diperoleh seorang menteri.
Ternyata keberpihakan pada Iptek saat ini masih sangat kurang. Bila dikemukakan bahwa anggaran riset diserahkan pada sektor masing-masing, kenyataannya dana yang dialokasikan untuk riset hanya dalam hitungan miliar, sementara dana yang diperoleh departemen triliunan rupiah. Anggaran untuk riset sebagian besar terserap untuk upah. Seperti ungakapan "Gaji yang diterima peneliti yang menciptakan sinyal pintu
kereta api sama dengan gaji yang diterima penjaga pintu kereta."
Sebaiknya pengembangan sumber daya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk riset harus dirancang dengan memasukkan pengembangan SDM periset ke dalam sektor-sektor riil, yaitu pendidikan, pertahanan dan keamanan, kesehatan, serta infrastruktur.
Dulu semasa BJ Habibie menjadi Menristek, perhatian pemerintah sangat besar terhadap Iptek, termasuk dalam alokasi dananya. Sekarang kondisinya sangat berbeda, pengembangan SDM Iptek di Indonesia sekarang ibarat "nasi telah menjadi bubur", di tengah banyaknya masalah di bidang pendidikan, hankam, dan kesehatan. Kita harus tetap optimistis bahwa strategi pengembangan SDM Iptek harus menjadi perhatian pemerintah di masa depan.
Jika kita berani melihat lebih jauh sebenarnya kebijakan Iptek di Indonesia dibangun dari asumsi-asumsi yang salah, seperti jumlah ilmuwan dan peneliti sudah cukup banyak dan terlalu banyak penelitian ilmu dasar yang tidak ada aplikasinya. Semua dianggap beres, bila keterkaitan antara penelitian dengan dunia industri diperluas. Persoalannya data yang menyangkut jumlah peneliti bukanlah angka riil tetapi hanya dihitung jumlah kepalanya saja. Namun, sejumlah narasumber melihat iklim akademislah yang lebih menentukan subur tidaknya peran ilmuwan serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam sebuah negara.
Indonesia sebenarnya memiliki stok ilmuwan dan peneliti yang cukup banyak. Akan tetapi mereka tersebar di mana-mana dan sebagian besar berada di luar sistem. Andaikata berada di dalam sistem, mereka tidak berbunyi karena berada di bawah pimpinannya. Karena itu, perlu dibuat terobosan dengan mengumpulkan orang-orang pandai itu dalam komite-komite untuk merumuskan dan membuat program strategis Iptek.
Tidak ada solusi yang bisa mengobati semua masalah. Untuk memajukan Iptek perlu dipecahkan bersama-sama dengan mengembangkan sumber daya, laboratorium, sekaligus "bahan bakar" untuk melaksanakan penelitian. Sampai kini tidak ada strategi besar dalam kebijakan penelitian nasional. Andai pun Iptek mendapat tempat dalam UU Pembangunan Jangka Panjang Nasional, rumusannya akan kalah dengan instrumen demokrasi lima tahunan.
Iptek bahkan dikait-kaitkan dengan kontribusinya dalam mengatasi konflik dan mempertahankan negara kesatuan. Padahal kontribusi Iptek kepada masyarakat bersifat jangka panjang sehingga pada tahap awal harus ditopang oleh pembiayaan negara. Komitmen itu tidak ada dalam pemerintahan saat ini. Sebenarnya strategi besar kebijakan nasional dalam bidang Iptek tidak harus dirumuskan secara formal. Akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan budaya Iptek atau keilmuan dalam lembaga-lembaga pemerintahan, swasta, dan masyarakat luas.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak harus selalu memberi manfaat ekonomi. Sejumlah negara yang berhasil dalam pengembangan Ipteknya justru memulai dengan investasi besar-besaran dalam bidang iptek, misalnya adalah Negara Thailand yang menuai reputasinya saat ini sebagai negara yang maju teknologi pangannya setelah memulai investasi di bidang itu sejak 20 tahun lalu. Contoh lain adalah Pakistan berhasil mengundang kembali ilmuwan-ilmuwannya setelah ada janji bahwa mereka akan memperoleh gaji empat kali lipat dari yang diperoleh seorang menteri.
Ternyata keberpihakan pada Iptek saat ini masih sangat kurang. Bila dikemukakan bahwa anggaran riset diserahkan pada sektor masing-masing, kenyataannya dana yang dialokasikan untuk riset hanya dalam hitungan miliar, sementara dana yang diperoleh departemen triliunan rupiah. Anggaran untuk riset sebagian besar terserap untuk upah. Seperti ungakapan "Gaji yang diterima peneliti yang menciptakan sinyal pintu
kereta api sama dengan gaji yang diterima penjaga pintu kereta."
Sebaiknya pengembangan sumber daya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi untuk riset harus dirancang dengan memasukkan pengembangan SDM periset ke dalam sektor-sektor riil, yaitu pendidikan, pertahanan dan keamanan, kesehatan, serta infrastruktur.
Dulu semasa BJ Habibie menjadi Menristek, perhatian pemerintah sangat besar terhadap Iptek, termasuk dalam alokasi dananya. Sekarang kondisinya sangat berbeda, pengembangan SDM Iptek di Indonesia sekarang ibarat "nasi telah menjadi bubur", di tengah banyaknya masalah di bidang pendidikan, hankam, dan kesehatan. Kita harus tetap optimistis bahwa strategi pengembangan SDM Iptek harus menjadi perhatian pemerintah di masa depan.
Jika kita berani melihat lebih jauh sebenarnya kebijakan Iptek di Indonesia dibangun dari asumsi-asumsi yang salah, seperti jumlah ilmuwan dan peneliti sudah cukup banyak dan terlalu banyak penelitian ilmu dasar yang tidak ada aplikasinya. Semua dianggap beres, bila keterkaitan antara penelitian dengan dunia industri diperluas. Persoalannya data yang menyangkut jumlah peneliti bukanlah angka riil tetapi hanya dihitung jumlah kepalanya saja. Namun, sejumlah narasumber melihat iklim akademislah yang lebih menentukan subur tidaknya peran ilmuwan serta ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) dalam sebuah negara.
Indonesia sebenarnya memiliki stok ilmuwan dan peneliti yang cukup banyak. Akan tetapi mereka tersebar di mana-mana dan sebagian besar berada di luar sistem. Andaikata berada di dalam sistem, mereka tidak berbunyi karena berada di bawah pimpinannya. Karena itu, perlu dibuat terobosan dengan mengumpulkan orang-orang pandai itu dalam komite-komite untuk merumuskan dan membuat program strategis Iptek.
Tidak ada solusi yang bisa mengobati semua masalah. Untuk memajukan Iptek perlu dipecahkan bersama-sama dengan mengembangkan sumber daya, laboratorium, sekaligus "bahan bakar" untuk melaksanakan penelitian. Sampai kini tidak ada strategi besar dalam kebijakan penelitian nasional. Andai pun Iptek mendapat tempat dalam UU Pembangunan Jangka Panjang Nasional, rumusannya akan kalah dengan instrumen demokrasi lima tahunan.
0 Response to "Strategi IPTEK SDM Harus Masuk ke Sektor Riil"
Post a Comment